Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

NO FREE LUNCH IN TALKING-TALKING ENGLISH

Arundatri Shinta
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Foto : Istimewa
Bicara dalam bahasa Inggris, siapa takut? Kalimat sederhana itu nampaknya klise seperti halnya iklan-iklan ajakan lainnya, namun ternyata sulit dilakukan. Inilah suatu ironi yang terjadi pada mayoritas mahasiswa di Indonesia. Mereka tentu sudah mendapat pelajaran bahasa Inggris paling sedikit enam tahun yaitu mulai dari tingkat SMP hingga SMA. Kadangkala bahasa Inggris juga sudah diajarkan semenjak tingkat TK dan SD. Pelajaran bahasa di sekolah sering dirasa orangtua kurang, sehingga masih ditambah dengan kursus bahasa Inggris di luar. Apa hasilnya? Kenyataan yang ada, mayoritas mahasiswa tidak mampu berbicara bahasa Inggris. Alasan yang sering dikemukakan mereka ketika diminta untuk memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris adalah malu, mulut terasa dikunci, panik, tidak dapat berpikir, takut ditertawakan, tidak ingin terlihat bodoh di depan umum, dan alasan lain yang menandakan rasa rendah diri.

 
Memang sudah banyak tulisan yang membahas tentang kiat-kiat praktis yang dapat ditempuh agar kita berani berbicara bahasa Inggris. Kiat-kiat itu antara lain mengikuti kursus, berkorespondensi dengan sahabat pena, mendengarkan musik, dan membaca novel, yang semua itu dilakukan dalam bahasa Inggris. Bahkan ada juga yang memberikan ide untuk berpacaran dengan orang asing (bule) yang tidak dapat berbicara bahasa Indonesia. Semua kiat tersebut bagus, hanya tantangannya adalah kita harus mempunyai nyali cukup tinggi untuk bermuka tebal, mampu mengatasi rasa bosan (karena harus sering melihat kamus), dan juga kita harus mempunyai sejumlah uang. Uang digunakan antara lain untuk mengikuti kursus, membeli novel berbahasa Inggris, dan mendapatkan penampilan yang keren agar ada bule mau menjadi teman kita.

Apa yang harus kita lakukan bila kita tidak mempunyai dana cukup, tetapi ingin menguasai bahasa Inggris dengan cepat? Kiat yang jarang dikemukakan dalam hal penguasaan bahasa Inggris adalah menjadi guru relawan bahasa Inggris bagi anak-anak yang kurang mampu atau anak-anak di panti asuhan. Kiat ini pada dasarnya berbeda dengan kiat-kiat di atas. Menjadi guru relawan berarti kita memberikan sesuatu (ilmu) secara suka rela, sedangkan mengikuti kursus berarti kita menerima sesuatu (ilmu). Perbedaan mendasar itu penting untuk dibahas karena berdasarkan kata-kata bijak, kalau kita menginginkan sesuatu maka kita harus memberikan terlebih dahulu.

Mengapa target mengajar bahasa Inggris itu sebaiknya anak-anak? Jawabannya sederhana saja yaitu kita tidak mungkin ditertawakan oleh anak-anak apabila aksen bahasa Inggris kita buruk atau pun kita salah dalam mengucapkan kata-kata asing. Topik-topik yang diajarkan pun hendaknya sederhana saja sehingga kita pasti sudah menguasainya, seperti cara-cara mengucapkan salam (good morning, good afternoon, dan sebagainya), serta warna (red, yellow, dan sebagainya). Jadi sebenarnya menjadi guru suka relawan itu pada hakekatnya kita ‘membeli’ rasa percaya diri dan ‘uangnya’ adalah tenaga dan pikiran yang kita sediakan untuk anak-anak tersebut.

Mengapa harus ada istilah ‘membeli’, serta ‘uang’ dalam belajar berbicara bahasa Inggris? Hal itu karena pada dasarnya tidak ada yang gratis di dunia ini. Istilah yang sering terdengar yaitu there is no free lunch. Kita harus membayar (memberikan sesuatu terlebih dahulu) bila ingin mendapatkan sesuatu. Semakin banyak yang kita berikan akan semakin berlimpah pula hasil yang kita dapatkan. Anda percaya dengan kata-kata bijak itu? Rekomendasi saya, jangan percaya dengan kata-kata bijak itu tetapi buktikan sendiri.

Penulis adalah suka relawan pada English for Fun Community di Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. 

Post a Comment

0 Comments