Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

TAWURAN PELAJAR





Arundati Shinta
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta


Tawuran pelajar sering dikonotasikan dengan kenakalan remaja. Hal ini karena pelaku yang sering tawuran dan diberitakan di media massa adalah pelajar SMA. Pelajar SMA berusia sekitar 15-18 tahun, sehingga mereka umumnya masih dalam periode perkembangan remaja. Remaja pada umumnya kondisi emosinya belum stabil, dan rujukan utamanya adalah teman sebaya bukan orangtua atau guru. Oleh karena itu, segala omongan teman akan jauh lebih dianut daripada nasehat orangtua dan guru. Apabila teman sebaya diganggu, maka emosi remaja mudah tersulut. Mereka akan melakukan segala cara, termasuk tawuran, demi membela teman. Bagi remaja, norma kelompok teman sebaya (tidak peduli benar atau salah) adalah norma sosial yang harus dianut. Sangat jarang terjadi ada remaja yang berani melakukan duel. Hal ini karena mereka biasanya tidak terlatih dalam bela diri, sehingga kalau kalah dalam duel maka mereka akan kehilangan muka di depan kelompoknya.

Berkaitan dengan masalah hukum, tawuran sering dianggap tidak melanggar hukum. Akibat-akibat tawuran juga dianggap tidak serius, karena ini hanya masalah kenakalan saja. Hal ini karena remaja masih belum dewasa. Kalau pun mereka dihukum, maka mereka akan diperlakukan secara khusus. Kenyataan yang ada, akibat tawuran berdampak sangat serius terhadap masyarakat di sekeliling lokasi tawuran, keluarga, dan pihak sekolah. Bahkan tidak jarang korban nyawa pun terjadi. Senjata yang digunakan dalam tawuran pun mirip dengan senjata yang digunakan para perampok, seperti senjata tajam. Oleh karena itu, kini tawuran pelajar sudah bukan lagi termasuk kenakalan remaja. Akibatnya pelaku tawuran pun harus diperlakukan seperti halnya orang dewasa yang bertindak pidana. Tawuran remaja tidak ubahnya seperti tindakan preman.

Apa yang menyebabkan tawuran? Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tawuran pelajar disebabkan alasan-alasan klise seperti hubungan keluarga yang tidak harmonis, remaja frustrasi, nilai akademik rendah, berasal dari sekolah yang bermutu rendah. Nitibaskara, TB R. R. dalam Kompas 2 Oktober 2012 menulis tentang Kompleksitas tawuran pelajar, mengutip hasil penelitian Winarini (1998) dan Muhammad Mustapha (1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa para pelaku tawuran justru mempunyai hubungan yang dekat dengan keluarga, nilai akademik tinggi, kondisi fisik prima, dan berasal dari sekolah yang berkualitas tinggi. Penelitian itu juga menyebutkan bahwa kecerdasan tinggi dan kondisi fisik prima sangat penting yaitu untuk menyusun strategi tawuran yang tinggi kemungkinan menangnya serta untuk menyusun strategi melarikan diri. Para pelaku semakin piawai dalam menyusun strategi karena didukung oleh para alumni (orang dewasa).

Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah tawuran pelajar? Peranan keluarga sangat penting, yaitu sediakan waktu lebih banyak lagi untuk para remaja ini. Orangtua hendaknya bisa berperan menjadi teman yang paling bisa dipercaya anak. Oleh karena tawuran juga terjadi karena lemahnya kepolisian, maka orangtua juga perlu mendiskusikan tentang antisipasi terjadinya tawuran. Antisipasi itu antara lain berupa strategi melarikan diri bila terjadi tawuran, meredakan emosi bila terjadi perseteruan, cara-cara cerdik mengatasi tekanan kelompok. Orangtua juga harus merancang karir masa depan anak, dan buatlah persiapannya. Semakin orangtua dan anak asik mempersiapkan masa depan karir anak, semakin energi anak tidak terfokus pada tawuran. Hal ini dapat terjadi apabila orangtua mampu menjadi model yang perilakunya menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya. Orangtua juga perlu merancang jumlah anak, sehingga tidak kewalahan dalam memperhatikan perkembangan anak-anaknya.

Selain itu, orangtua dan guru perlu bekerjasama yang erat dan saling mempercayai untuk memantau keberadaan remaja. Selama ini sekolah sering dipandang sebagai TPA (tempat penitipan anak), sehingga orangtua terkesan terlalu menuntut sekolah. Selain itu orangtua juga merasa sudah membayar, berarti pihak sekolah bertanggungjawab sepenuhnya terhadap remaja. Hubungan-hubungan yang kurang harmonis ini hendaknya ditinjau ulang, karena bagaimana pun remaja adalah tanggungjawab bersama.



  • Tulisan ini petama kali dipublikasikan di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta pada 3 September 2012.
  • Semua komentar tulisan ini dialamatkan ke arundatishinta@yahoo.com




Post a Comment

0 Comments