Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

STRATEGI MENGATASI DOSEN YANG MENJEMUKAN


Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta


Mungkinkah seorang profesor (dosen) menjadi target eksperimen dari para mahasiswanya? Pertanyaan tersebut penting untuk dikemukakan untuk membantah anggapan yang selama ini dianggap lazim bahwa dalam berbagai publikasi psikologi eksperimen, jumlah orang yang menjadi objek eksperimen selalu lebih banyak daripada jumlah peneliti eksperimennya (experimenter). Target eksperimen yang jumlahnya banyak akan membuat variabel-variabel penelitian menjadi lebih jelas hubungannya secara statistik. Perlawanan terhadap kelaziman tersebut terungkap pada penjelasan Kazdin (2001) tentang upaya-upaya yang dilakukannya bersama teman-teman sekelasnya dalam menghadapi kejemuan situasi perkuliahan.

Ide eksperimen ini bermula pada permasalahan tentang para mahasiswa fakultas psikologi yang merasa bosan karena harus menghadiri perkuliahan seorang profesor selama satu semester. Berikut adalah ‘daftar kesalahan’ profesor  tersebut menurut para mahasiswanya:
  • Materi kuliah tidak disusun secara menarik
  • Wajah profesor tidak ekspresif (kurang menjiwai) dalam membawakan materi perkuliahan.
  • Hal yang paling membosankan adalah profesor itu selalu berdiri di tengah-tengah, di depan papan tulis. Mengapa ia tidak mondar-mandir menghampiri para mahasiswa?

Kebosanan mahasiswa terhadap profesor itu masih ditambah dengan kondisi fisik mahasiswa yang semalam sebelumnya sering tidur terlambat karena harus menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan. Jadi dapat dibayangkan betapa susah payahnya mahasiswa membuka mata selama perkuliahan berlangsung. Di kelas, mereka sering menguap, mata lebih tertuju pada pemandangan di luar kelas daripada ke arah wajah profesor, bahkan ada yang tertidur di kelas. Untuk mengatasi situasi yang membosankan ini, kemudian beberapa mahasiswa mempunyai ide menarik yaitu ‘menyuruh’ (membentuk perilaku) profesor itu agar berdiri di pojok kelas tanpa ia merasa tersinggung. Mereka berembug mendisain sebuah eksperimen untuk membentuk suatu perilaku baru. Apa saja hasil rembugan mahasiswa tersebut?

Para mahasiswa itu berembug siapa saja yang akan terlibat dalam eksperimen, dan apa saja pembentuk perilakunya (shaping behavior). Jumlah seluruh mahasiswa di kelas itu ada 25 orang, dan ternyata tidak semua mahasiswa terlibat dalam eksperimen itu. Kelompok mahasiswa itu kemudian menetapkan perilaku apa saja yang dapat meneguhkan perilaku baru profesor yaitu untuk berdiri di pojok kelas. Istilah kerennya adalah menentukan reinforcement. Rencana peneguhan perilaku yang akan diperlihatkan mahasiswa antara lain:
  • Bila profesor itu berdiri selangkah atau menuju ke pojok, maka mahasiswa akan berperilaku yang menunjukkan minat yang tinggi pada materi perkuliahan seperti mata membelalak, wajah bersemangat, menunjukkan jari sebagai tanda untuk bertanya, wajah ditujukan ke papan tulis, sering mengagguk-angguk, menulis di buku dengan tekun.
  • Bila profesor itu berdiri di tengah, maka mahasiswa akan berperilaku yang menunjukkan tidak ada minat pada materi kuliah seperti mata tertutup karena mengantuk, wajah diarahkan pada jendela, menguap lebar-lebar, tidur di kursi, tidak menulis di buku.

Rencana selanjutnya adalah menentukan siapa saja yang duduk di kursi baris ke-1, ke-2, dan ke-3. Penentuan ini penting agar mereka dapat memunculkan peneguhan perilaku dengan kompak dan konsisten. Apabila peneguhan perilaku tidak dimunculkan secara kompak dan konsisten, maka perilaku target dari profesor mungkin tidak akan muncul. Hal ini karena kekeompakan dan konsistensi merupakan kunci bagi modifikasi perilaku.

Bagaimana cara mahasiswa ‘menggiring’ profesor itu ke pojok? Apabila profesor itu berdiri satu langkah bergeser ke arah kanan, maka mahasiswa yang duduk di sebelah kanan profesor harus segera beraksi yaitu menunjukkan peneguhan perilaku positif seperti mengangguk-angguk, dan sebagainya. Apabila profesor itu bergerak ke kiri, maka mahasiswa yang duduk di sebelah kiri profesor harus segera beraksi yaitu menunjukkan peneguhan perilaku positif. Apabila profesor itu kembali ke tengah, maka semua mahasiswa menunjukkan peneguhan perilaku negatif (misalnya mengantuk). Hal ini dilakukan secara konsisten. Tentu saja semua itu adalah perilaku pura-pura, sehingga sebagian mahasiswa harus menahan diri sekuat tenaga untuk tidak tertawa.

Eksperimen itu dapat dilakukan dengan lancar, karena mata kuliah itu disajikan tiga kali seminggu. Pembentukan perilaku itu mulai menuai hasilnya pada minggu kedua. Sang profesor memulai kuliahnya dengan cara berdiri di pojok dan bukunya juga dibawa ke pojok, serta diletakkan di atas tempat cucui tangan. Sebelumnya, buku diletakkan di atas meja di bagian tengah ruangan.

Pada tahap ini, mahasiswa telah berhasil ‘mengubah perilaku’ profesor yaitu berdiri di tengah menjadi berdiri di pojok. Perkembangan selanjutnya yang tidak disangka-sangka adalah adanya mahasiswa yang tidak tega dengan kondisi profesor itu. Mahasiswa itu pandai, dan sangat sadar dengan etika eksperimen. Ia mendesak teman-temannya agar perilaku profesor itu ‘dikembalikan’ seperti semula. Teman-temannya akhirnya setuju. Di samping itu, para mahasiswa sudah lelah untuk berpura-pura berminat terhadap mata kuliah yang sebenarnya memang membosankan. Jadi langkah eksperimen selanjutnya adalah ‘mengembalikan’ perilaku profesor itu ke tempat semula. Apa saja langkah-langkahnya?

Langkah-langkah yang diambil mahasiswa adalah kebalikan dari pembetukan perilaku ke arah pojok. Jadi, bila profesor itu pergi ke pojok maka mahasiswa akan berpura-pura mengantuk. Apabila profesor itu kembali ke tengah, maka para mahasiswa akan bersemangat dalam perkuliahan. Hal ini dilakukan berulang-ulang, agar perilaku ‘baru’ profesor itu terbentuk. Akhirnya profesor itu kembali berdiri di tengah dalam memberikan materi perkuliahan, sampai akhir semester.

Apa saja yang dapat dipelajari tentang eksperimen (atau kejahilan?) mahasiswa terhadap profesornya?
  • Jumlah orang yang akan diubah perilakunya (target perilaku) tidak perlu banyak, satu saja sudah bisa. Hal ini karena yang dipentingkan dalam eksperimen bukan jumlah subjek penelitian, tetapi jumlah perilaku yang akan diubah.
  • Dalam proses pengubahan perilaku, sangat diperlukan adanya peneguhan perilaku. Peneguhan perilaku harus dilakukan secara konsisten. Apabila peneguhan perilaku dilakukan secara tidak konsisten, maka subjek penelitian akan menjadi bingung.
  • Dalam setiap eksperimen, perlu adanya pemahaman tentang etika eksperimen. Artinya subjek penelitian harus diberi tahu tentang perubahan perilaku yang terjadi padanya. Apabila subjek tidak diberitahu maka telah terjadi pelanggaran etika.

Eksperimen mahasiswa ini, meskipun tidak dilakukan penghitungan secara statistik, membawa pesan kepada kita bahwa semua perilaku itu dapat diubah. Jadi apabila kita merasa bahwa perilaku kita tidak baik atau tidak sesuai dengan situasi, maka jangan kuatir. Semua perilaku dapat diubah ke arah yang lebih baik, karena semua perilaku itu pada hakekatnya adalah hasil belajar.


Daftar pustaka:

Kazdin, A. E. (2001). Behavioral modification in applied settings. 6th ed. Belmont, CA: Wadsworth Thomson Learning. (page 43-50)

Post a Comment

3 Comments

  1. Ini tulisan bu Shinta kok seperti pengalaman pribadi? Apa bu Shinta pernah digarap mahasiswanya seperti sang profesor itu? Hebat dong para mahasiswanya.

    ReplyDelete
  2. Sangat menarik sekali tulisan Ibu.
    Mungkin bisa saya coba praktikan untuk beberapa profesor saya yang hampir mirip dengan profesor yang ada dalam tulisan ini. Sangat menginspirasi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih untuk responnya yang simpatik. Tulisan itu memang bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada hakekatnya kita berperilaku karena adanya suatu peneguhan perilaku yang positif. Bila peneguhan positif itu terus ada maka perilaku yang diharapkan akan terus muncul. Ok, salam sukes, A. Shinta

      Delete

Tidak diperbolehkan adanya unsur sara dan kata-kata yang kurang terpuji