Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

KESENJANGAN PERILAKU: ANTARA KENYATAAN DAN STANDAR NORMA SOSIAL PADA PROFESI TERHORMAT



Arundati Shinta

Fakultas Psikologi Universitas Proklamsi 45

Yogyakarta


Semua orang tentu mempunyai peran dalam masyarakat, karena manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri. Setiap peran tersebut mempunyai serangkaian persyaratan perilaku tertentu. Persyaratan perilaku itu muncul karena adanya sebuah norma sosial dalam masyarakat. Hal itu berarti seseorang yang ingin diterima oleh masyarakat, maka perilakunya harus sesuai dengan norma masyarakat tersebut. Apabila perilaku orang tersebut tidak sesuai dengan peran yang disandangnya maka masyarakat tentu akan ‘menghukumnya’. Bentuk hukuman tidak selalu berbentuk penjara, tetapi juga bisa dalam bentuk diolok-olok, ditertawakan, diejek, bahkan diasingkan. Penjelasan tersebut sebenarnya berasal dari teori peran sosial (social role theory) yang dikemukakan oleh Eagly, Wood dan Diekman (2000).
Teori peran sosial itu memang pada awalnya ditujukan untuk menjelaskan tentang perbedaan perilaku orang-orang berdasarkan peran gendernya. Teori peran sosial ini ternyata juga dapat untuk menjelaskan tentang perbedaan perilaku orang-orang berdasarkan perannya dalam masyarakat. Dalam semua situasi sosial, tentu ada konteks sosialnya misalnya situasi ulang tahun, rapat para guru, pertemuan para alumni, dan sebagainya. Konteks sosial itu akan mengarahkan kita pada segala sesuatu yang ingin kita lihat secara rinci, dan kemudian kita akan menginterpetasikannya. Dalam rangka menginterpretasikan objek tersebut, maka kita bukan pengamat pasif. Motif kita sebagai pengamat turut serta ‘mewarnai’ hasil interprestasi objek tersebut. Dalam situasi yang tidak jelas (ambigu), kita akan menggunakan konsep peran sosial untuk menterjemahkan objek itu. Cara orang-orang lain berperilaku dalam situasi sosial yang tidak jelas itu mempengaruhi pembentukan kesan kita (Middlebrook, 1974).
Sebagai ilustrasi dari teori peran sosial, dan juga menjadi permasalahan dalam tulisan ini, adalah tentang perilaku rohaniwan atau tokoh agama dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang berprofesi sebagai rohaniwan atau tokoh agama, tentu dipersepsikan oleh masyarakat sebagai orang yang jujur, tidak sombong, suka menolong, memberikan ketenangan dalam masyarakat, semua perilakunya menjadi suri tauladan. Apalagi bila di belakang namanya ada tambahan gelar akademik yang relevan dengan agama, misalnya M. Th (Master of Theology), S. Ag. (Sarjana Agama), S. Th. (Sarjana Theologi), dan masih banyak gelar keagamaan lainnya yang dilandasi oleh bidang akademik atau tingkatan spiritual. Tentu saja penyandang gelar itu dipastikan orang hebat baik dalam hal spiritual, pengendalian diri terhadap hal-hal yang sifatnya duniawi, maupun kemampuan akademis. Ini sesuai dengan definisi rohaniwan sebagai pemimpin dari suatu agama, dan agama adalah panutan manusia. Hal ini berarti bahwa masyarakat sudah ‘menciptakan’ sebuah persyaratan perilaku yang dianggap sesuai untuk profesi rohaniwan atau tokoh agama.
Dalam tulisan kali ini, teori peran sosial ini hendak digunakan dalam menyoroti perilaku orang-orang yang kebetulan mempunyai profesi sebagai rohaniwan atau tokoh agama dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, tentu saja rohaniwan itu berusaha berperilaku sesuai dengan ‘tuntutan’ norma sosial tentang perilaku yang sepatutnya ditampilkan oleh seorang rohaniwan. Ia tidak mungkin mencuri, melanggar undang-undang, atau perbuatan tercela lainnya. Hal yang perlu diwaspadai adalah kita sering menerapkan ‘standar perilaku’ menurut versi kita. Artinya kita seperti ‘memaksa’ seseorang untuk berperilaku dengan level tertentu sesuai dengan ‘standar’ kita. Apabila orang yang sedang kita amati itu tidak berperilaku sesuai dengan ‘standar’ kita maka kita akan menganggapnya sebagai orang yang tidak patut menyandang profesinya. Jadi kita seperti ‘menghukum’ orang yang sedang kita amati.
Kembali pada ilustrasi tetang rohaniwan dan tokoh agama. Kita mungkin saja secara kebetulan menjadi saksi atau membaca berita bahwa ada rohaniwan yang sedang memarahi umatnya sambil membentak-bentak, rohaniwan melakukan pelecehan seksual, rohaniwan menipu, rohaniwan berperilaku sombong, dan rohaniwan berperilaku yang melecehkan profesinya sendiri. Apa saja respon kita bila membaca berita-berita yang mengagetkan itu? Mungkin saja kita menjadi sedih, dan tidak terima pada wartawan atau media massa yang memberitakan hal itu. Mungkin kita juga akan menyangkal dan berdemonstrasi di kantor penerbitan media massa itu. Mungkin masih banyak respon kita sebagai salah satu umat rohaniwan, yang intinya adalah kita merasa ada kesenjangan peran sosial antara profesi sebagai rohaniwan, perilaku yang dimunculkan oleh rohaniwan itu, dan ‘standar’ perilaku menurut versi kita.
Apa saja dampak bagi kita sebagai salah satu umatnya ketika melihat model perilaku yang ternyata tidak sempurna seperti ‘standar’ kita? Dampak yang paling sering muncul adalah bingung, dan mulai mempertanyakan ‘standar’ perilaku versi kita. Mana yang keliru, ‘standar’ kita atau norma umum yang keliru? Kalau norma umum yang keliru, mengapa masyarakat tidak bergolak dan mengejek sang rohaniwan? Bahkan tidak sedikit anggota masyarakat yang memujanya. Kalau ‘standar’ kita yang keliru – mungkin terlalu tinggi – apa yang harus kita lakukan? Apakah kita akan mengejek, menyebarkan berita buruk (bergosip, menulis opini) tentang rohaniwan tersebut di dunia maya atau media massa?
Sungguh sulit untuk melakukan penilaian, karena kita sering keliru menetapkan suatu standar ideal sebuah perilaku. Kita sering lupa bahwa rohaniwan adalah manusia, dan kesalahan serta dosa itu milik manusia. Manusia adalah makhluk yang tidak sempurna. Oleh karena itu, ketika kita melihat suatu kesenjangan perilaku pada rohaniwan atau tokoh agama, maka seyogyanya kita introspeksi tentang tingginya ‘standar’ perilaku yang kita ciptakan. Mungkin saja ‘standar’ itu terlalu tinggi, sehingga tidak dapat diterapkan pada sang rohaniwan itu. Introspeksi diri ini jelas langkah yang lebih bijak daripada menghujat perilaku rohaniwan tersebut. Kalau kita sering melakukan introspeksi diri sebelum memvonis perilaku orang lain, maka kita akan mengarah pada kebijaksanaan. Kalau demikian halnya, siapa yang pantas mendapatkan julukan orang yang mempunyai spiritualitas tinggi, sang rohaniwan yang perilakunya tidak dapat menjadi suri tauladan atau kita yang mempunyai kebiasaan introspeksi diri? Kalau kita dengan bangga menetapkan bahwa kita lebih tinggi tingkat spiritualnya daripada sang rohaniawan, maka jangan-jangan kita telah melakukan self serving bias atau menilai diri secara bias (Myers, 1994). Penilaian itu semoga tidak menjadi halusinasi.
Agaknya langkah bijak dalam menghadapi fenomena kesenjangan perilaku antara standar diri sendiri, norma umum, dan perilaku yang ditampakkan, adalah introspeksi diri. Introspeksi diri ini adalah tanda kematangan seseorang, entah dalam bidang spiritual atau pun bidang-bidang lainnya. Semoga kita semua menjadi lebih matang serta arif dalam menghadapi situasi sosial yang semakin tidak menentu.



Daftar pustaka:

Eagly, A. H., Wood, W., & Diekman, A. (2000). Social role theory of sex differences and similarities: A current appraisal. In T. Eckes & H. M. Trautner (Eds.), The developmental social psychology of gender. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum, (pp. 123-174).
Middlebrook, P. N. (1974). Social psychology and modern life. New York: Alfred A. Knopf.
Myers, D. G. (1994). Exploring social psychology. New York: McGraw-Hill, Inc.